SISTEM INFORMASI MANAJEMEN

Rabu, 28 Mei 2025

Cerpen - Secangkir Kopi untuk Istriku

Pagi belum sepenuhnya datang, langit masih menggantungkan warna kelabu. Darto sudah berdiri di dapur sempit rumah kontrakannya. Tangannya mengaduk kopi dalam cangkir lusuh, pelan dan hati-hati, seolah setiap putaran sendok adalah doa yang ditumpahkan.

Di meja makan yang penuh gores dan noda waktu, ia letakkan kopi itu di hadapan Mira, istrinya yang sedang duduk lelah dengan perut besar yang kian menegang jelang kelahiran. Mira menyambutnya dengan senyum pucat, menggenggam tangan Darto yang kasar dan dingin.

“Kamu belum tidur lagi, ya?” suaranya pelan.

Darto hanya menggeleng. Ia memang belum tidur. Tadi malam, selepas kerja parkir siang harinya, ia masih mengambil pekerjaan sebagai buruh bangunan demi tambahan uang untuk persalinan. Darto tak ingin Mira melahirkan di tempat seadanya. Ia ingin, walau sekali saja, memberikan yang terbaik.

“Aku bisa kok kerja lagi, To,” ujar Mira dengan suara lirih.

“Jangan. Kamu cukup jaga dia,” Darto menatap perut Mira sambil tersenyum. “Aku yang jaga kalian berdua.”

Hari-hari berlalu dalam keheningan penuh perjuangan. Darto mulai menjual barang-barang pribadinya. Jaket satu-satunya, jam tangan kenangan pernikahan, bahkan sepedanya pun dijual. Semua demi biaya rumah sakit dan keperluan bayi yang akan lahir. Darto jarang mengeluh. Ia hanya lelah, tapi baginya cinta bukan soal kata, tapi soal berkorban.

*

Suatu malam, Mira terbangun. Darto tidak ada di sampingnya. Ia berjalan ke dapur dan menemukan Darto duduk diam, menatap kosong ke arah cangkir kopi yang belum disentuh.

“To?”

Darto terdiam. Tubuhnya gemetar. Mira mendekat dan menggenggam bahunya. Saat itu Darto menangis — bukan karena lelah, bukan karena sakit — tapi karena ia baru saja diberitahu bahwa pekerjaan utamanya akan segera dihentikan. Proyek bangunan tempat ia bekerja bangkrut.

“Aku nggak tahu bisa ngelahirin kamu di rumah sakit atau nggak, Mi. Maafin aku...” katanya lirih.

Mira memeluknya erat. “Selama kamu di sisiku, aku nggak butuh rumah sakit mahal. Aku cuma butuh kamu.”

**

Hari kelahiran itu akhirnya tiba. Mira berjuang melawan nyeri dalam kontrakan kecil mereka. Seorang bidan kampung didatangkan. Dengan peluh dan air mata, bayi perempuan itu lahir ke dunia. Sehat dan kuat.

Darto menangis saat mendengar tangis bayi itu untuk pertama kali. Ia menggenggam tangan Mira erat dan berkata, “Aku kasih nama dia ‘Amara’, artinya keteguhan. Sama seperti kamu.”

Mira tersenyum tipis, lemah. “Aku bangga sama kamu, To. Tapi... kamu harus tahu sesuatu...”

Darto menatapnya bingung. Mira mengambil napas dalam-dalam. Matanya berair, bukan karena sakit melahirkan, tapi karena sesuatu yang jauh lebih berat.

“Selama ini... ada seseorang yang diam-diam bantu kita, To,” katanya. “Uang persalinan, perlengkapan bayi... semuanya. Aku simpan dalam laci. Aku nggak berani bilang karena takut kamu marah.”

Darto terdiam. “Siapa?”

Mira menangis. “Adikmu, Wira. Dia hubungi aku diam-diam. Dia jual motor kesayangannya. Dia tahu kamu terlalu keras kepala buat minta tolong.”

Darto terdiam lama. Wira, adiknya yang sempat ia usir karena berselisih paham soal warisan orangtua. Sudah dua tahun mereka tak bicara.

***

Malam itu, setelah semua reda dan Mira tertidur, Darto membuka laci yang disebut Mira. Di dalamnya ada amplop-amplop berisi uang dan satu surat.

“Mas Darto,
Aku tahu Mas nggak suka dibantu. Tapi aku bukan bantu karena kasihan. Aku bantu karena Mas sudah jadi ayah dan kakak terbaik yang pernah aku punya. Jaga Mira dan keponakanku ya. Kalau Mas mau, aku tunggu di rumah Ibu. Pulanglah. Kita keluarga. 
Wira”

Darto terisak. Ia menatap langit-langit, seakan berbicara pada hati yang lama ia pendam.

****

Tiga bulan kemudian, sebuah motor tua berhenti di depan rumah ibu mereka di kampung. Wira keluar dengan langkah canggung. Tapi sebelum ia sempat mengetuk pintu, pintu itu terbuka.

Darto berdiri di ambang pintu, dengan bayi kecil dalam gendongannya. Di belakangnya, Mira tersenyum hangat.

“Masih mau jadi om dari Amara?” tanya Darto dengan suara serak.

Wira tertawa dan memeluknya erat. Luka masa lalu luruh bersama air mata. Kadang, cinta dan pengorbanan tak hanya datang dari pasangan — tapi juga dari mereka yang dulu kita abaikan.

*****

Karya Richman Er_El

0 Komentar:

Posting Komentar