SISTEM INFORMASI MANAJEMEN

Rabu, 28 Mei 2025

Cerpen - Sepotong Roti

 

Rumah itu tak pernah benar-benar sepi, meski hanya dihuni dua orang: Ibu dan Damar. Suara radio tua yang memutar lagu-lagu lawas selalu menemani pagi mereka. Tapi tidak dengan suara tawa. Sudah lama suara tawa hilang dari rumah itu—terkikis bentakan, amarah, dan diam yang menyesakkan.

Damar berubah sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Ia duduk di kelas dua SMP saat itu. Sejak hari pemakaman, matanya tak pernah lagi menatap ibunya dengan hangat. Ia mulai sering membangkang, pulang larut, berkawan dengan anak-anak jalanan, dan diam-diam mulai mencoba rokok yang dulu hanya ia lihat diselipkan di bibir para sopir angkot.

Ibu tak pernah memukul. Tak pernah mengutuk. Hanya menasihati dan menunggu, seperti langit menanti hujan yang tak kunjung datang.

“Dam, jangan pulang malam. Ibu khawatir,” ucapnya suatu malam, lembut.

“Kalau Ibu khawatir, ya sudah, tidur aja! Saya bisa jaga diri!” Damar menepis tangan ibunya yang menyentuh lengannya. Sorot matanya dingin.

Malam itu ia pulang pukul dua pagi. Ibu tak tidur. Duduk di ruang tengah dengan mata merah karena menangis dan menunggu.

“Apa sih, Bu? Saya bukan anak kecil!”

“Bukan. Tapi kamu juga belum cukup besar untuk menyakiti Ibu setiap hari.”

Damar tak menjawab. Ia masuk kamar dan membanting pintu.


Hari demi hari, hubungan mereka semakin renggang. Setiap kali Ibu mencoba bicara, Damar menanggapinya dengan acuh atau kemarahan. Ibu tetap menyiapkan makan, tetap mencuci bajunya, tetap menyelipkan uang jajan—meski Damar jarang mengucap terima kasih.

Suatu pagi, saat Ibu melihat puntung rokok di bawah kasur Damar, ia memberanikan diri bicara.

“Dam, kamu mulai merokok?”

“Jangan ikut campur, Bu.”

“Ibu cuma ingin kamu sehat. Rokok itu–”

“Ah sudahlah! Ibu pikir Ibu siapa? Saya bisa urus diri saya. Jangan seolah-olah Ibu tahu semua tentang saya!”

Wajah Ibu menegang, tapi hanya mengangguk kecil.

Dan sejak itu, Ibu jarang bicara. Ia lebih banyak diam, menyimpan sedih dalam doa. Tapi sesekali, suara batuknya terdengar dari dapur, makin lama makin sering. Damar tidak peduli. Ia pikir itu hanya flu atau capek biasa.


Suatu malam, Ibu mengetuk pintu kamar Damar.

“Dam... Ibu ke dokter hari ini. Katanya—”

“Sekarang Ibu malah drama? Mau cari perhatian karena saya jarang di rumah, gitu?”

Ibu terdiam. Tidak masuk ke kamar. Hanya berdiri beberapa saat, lalu melangkah pergi pelan-pelan.


Keesokan harinya, Ibu tetap menyiapkan sarapan. Sepotong roti tawar dan teh hangat. Tapi Damar tak menyentuhnya. Ia sibuk dengan ponselnya, lalu pergi tanpa pamit. Wajah Ibu hanya mengikuti dari balik tirai jendela, lelah dan redup.

Hari itu Damar pulang malam. Sangat malam. Rumah gelap. Lampu depan tidak menyala.

“Ibu?” panggilnya.

Tak ada sahutan.

Ia menyalakan lampu ruang tengah. Dingin.

Dapur kosong.

Lalu ia masuk ke kamar Ibu. Tubuh itu terbaring diam. Mata tertutup. Tangannya menggenggam roti tawar yang tak sempat dimakan.

Dan Damar tahu, kali ini keheningan bukan bentuk kemarahan. Tapi kepergian.


Di pemakaman, ia tak menangis. Badannya terasa ringan, tapi kepalanya berat. Orang-orang berbicara pelan. Seseorang menepuk bahunya. Tapi semua terasa jauh.

Malamnya, ia masuk ke kamar Ibu. Duduk lama di tepi ranjang. Di meja kecil, ada amplop. Bertuliskan: “Untuk Damar.”

Nak, kalau kamu membaca ini, mungkin Ibu sudah tidak ada.
Ibu tak pernah ingin pergi dengan membawa luka dari kamu. Tapi Ibu tahu, kamu masih belajar mengenal dunia.
Ibu bukan ingin mengatur hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia dan tidak terjerumus ke jalan yang membuatmu sakit, membuatmu menyesal.

Ibu tidak marah, meskipun kamu sering melukai hati Ibu.
Ibu hanya takut... kamu tak sempat memaafkan dirimu sendiri.

Jika kamu belum sempat berkata maaf, Ibu sudah lebih dulu memaafkan.
Karena mencintaimu adalah satu hal yang tak pernah Ibu sesali.

Ibu.

Tangis Damar pecah malam itu. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena setiap kenangan yang terlintas adalah luka yang ia toreh sendiri. Ia menyakiti satu-satunya orang yang tetap mencintainya, bahkan saat ia tak pantas dicintai.

Ia memeluk bantal ibu erat-erat, seakan berharap bisa menyentuh sisa hangat tubuh itu. Tapi yang tersisa hanya sunyi.

Dan roti tawar yang masih utuh di meja.

***

Karya Richman eR_eL

0 Komentar:

Posting Komentar