Kunjungan Walikota Gorontalo
Pemantauan aktivitas renovasi dan PTMT
Kunjungan Walikota Gorontalo
Pemantauan aktivitas renovasi dan PTMT
Kunjungan Walikota Gorontalo
Pemantauan aktivitas renovasi dan PTMT
Kunjungan Walikota Gorontalo
Pemantauan aktivitas renovasi dan PTMT
Kunjungan Walikota Gorontalo
Pemantauan aktivitas renovasi dan PTMT
Rabu, 11 Juni 2025
Minggu, 01 Juni 2025
Cerpen - Bukan Malaikat
Masih kosong. Tak ada satu pun angkot yang sedang mangkal. Tak ada keriuhan sopir dan calo memanggil-manggil calon penumpang. Dan ini berarti aku harus menunggu lebih lama lagi. Keluhku begitu saja tumpah ketika tiba di tempat biasa menunggu angkot untuk pulang.
“Makasih om”, ucapku setelah membayar sewa bentor dari tempatku bekerja.
Ku edarkan pandangan sejenak mencari tempat berteduh sembari menunggu angkot. Di tempatku biasa menunggu sudah ada om-om bentor yang mangkal di sana. Pandanganku berhenti di bekas pos jaga petugas LLAJ seberang jalan. Di situ kayaknya lebih nyaman. Tanpa menunggu lama aku segera menuju ke sana. Tak jauh. Hanya sekitar 15 meter dari tempatku berdiri.
Baru saja ku letakan tas jinjing, angkot langganan ku sudah tiba. Om Asri. Begitulah, kami para penumpang biasa memanggilnya. Kulirik tampilan ponsel. Pukul 14.30. Berarti satu setengah jam lagi aku bisa tiba di rumah.
“Melelahkan”
Dengan hembusan napas panjang ku melangkah menuju angkot Om Asri diparkir. Aku harus menyeberangi jalan lagi untuk bisa sampai ke sana.
“So lama ba tunggu Ibu?”, tanya Om Asri sambil turun dari mobil. Ia kemudian berdiri dan bersandar pada pintu mobilnya.
“Belum. Baru sampe. Untung saja tadi ada bentor yang lewat depan sekolah. Jadi, capat sampe di sini”, jawabku sambil memperbaiki tempat duduk.
“Sampe sini bo bulum ada oto”
Om Asri tak menyahut. Ia hanya tersenyum sambal mengotak-atik ponsel jadulnya. Berharap akan ada SMS atau telepon dari penumpang yang minta untuk ditunggu. Seperti yang aku lakukan saat akan berangkat pagi hari agar tidak ketinggalan. Kalau ketinggalan berarti aku terlambat tiba di sekolah.
Di siang yang panas seperti ini dan baru aku sendiri penumpangnya, itu luar biasa. Aku harus menunggu lama dan itu artinya waktu tiba di rumah nanti juga semakin lama. Sungguh sangat melelahkan. Sudah sekitar 10 menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda angkot akan berangkat. Baru ada ketambahan dua penumpang. Om Asri masih dengan penuh semangat memanggil-manggil penumpang. Peluhnya juga tak mau mengalah. Perjuangannya masih sia-sia.
Sudah hampir setahun aku menjalani rutinitas seperti ini. April tahun lalu aku menerima SK perintah tugas ke sini. Lumayan jauh dari rumah. Hampir separuh dari penghasilan bulanan habis hanya untuk membayar ongkos angkot. Belum lagi ditambah dengan dengan situasi seperti ini. Harus menunggu dalam angkot dengan cuaca yang panas. Menunggu kepastian kapan bisa segera berangkat. Setiap hari seperti ini.
Seandainya tempat tugas ku dekat rumah mungkin ceritanya akan berbeda. Aku bisa menghemat ongkos angkot. Mungkin bisa untuk beli susu anakku. Aku pun bisa punya banyak waktu mengurus keluarga kecilku. Tak harus menghabiskan banyak waktu di jalan seperti ini. Sudah mencoba untuk mengajukan pindah namun gagal. Katanya harus lima tahun dinas baru bisa mengajukan mutasi.
“Omoluwa mena’o uti buayi?”, ujar penumpang yang duduk dibelakangku. Seorang wanita paruh baya. Dia terlihat sedikit gelisah. Sepertinya ia terburu-buru.
Aku menoleh sejenak dan tersenyum tipis.
“Didu otahangia boti patu lo dulahu”,ujarnya lagi. Kali ini aku tak menoleh. Ku biarkan saja ia dengan keluhannya.
Ku menoleh ke arah om Asri. Pria paruh baya itu masih tetap di tempatnya. Berbincang dengan om bentor yang sedang mangkal.
Sudah hampir setengah jam. Sudah ada 6 penumpang yang ada. Om Asri sudah bersiap akan berangkat.
“Akhirnya berangkat juga”, gumamku.
Angkot sudah bergerak perlahan. Mungkin kecepatannya 40 km/jam. Aku tahu Om Asri masih harus menambah penumpangnya sehingga kecepatannya hanya seperti itu. Ada satu penumpang lagi yang naik ketika sudah memasuki perbatasan Batuda’a. Kali ini kecepatan angkot langgananku ini mulai bertambah. Mungkin karena penumpangnya sudah tujuh orang. Sudah hampir penuh.
Mendekati SPN Batuda’a mobil sedikit melambat. Mungkin akan ada penumpang yang naik atau turun. Tepat depan Puskesmas Batuda’a tak jauh dari perempatan SPN mobil berhenti. Benar saja. Di luar sudah ada dua penumpang dengan dinas putih yang bersiap naik. Satu orang duduk di sampingku. Satu lagi ke bangku belakang. Mobil belum bergerak padahal dua penumpang tadi sudah masuk. Sambil memperbaiki posisi duduk, ku menoleh ke seberang jalan. Di sana kulihat ada seorang pria yang dengan hati-hati akan menyeberang jalan. Sepertinya juga mau naik.
Pria itu sepertinya berusia lima puluh tahun ke atas. Memakai celana pendek dan kaos oblong hijau yang sudah kusam. Tubuhnya sedikit kurus. Ia membawa sapu lidi juga serok. Sepertinya ia tukang bersih di Puskesmas.
Pria paruh baya itu hanya duduk di lantai mobil dekat pintu. Menghadap keluar. Mungkin dilihatnya di dalam sudah penuh. Lagi pula ia membawa sapu lidi dengan gagangnya yang agak panjang. Pikirnya akan mengganggu penumpang lainnya. Tanpa ku sadari mobil sudah bergerak dengan kecepatan maksimal. Aku masih asyik memperhatikan pria dengan sapu lidi itu.
Kulitnya sudah keriput sering terpapar sinar matahari. Dipikiranku timbul beberapa pertanyaan. Mengapa diusia seperti itu ia masih bekerja? Apakah ia hidup sebatang kara? Tak ada keluarga lain yang bisa membiayai hidupnya? Harusnya usia seperti itu ia berdiam saja di rumah. Menikmati usia senjanya. Semuanya masih berputar-putar di pikiranku. Hingga aku dikagetkan dengan mobil yang berhenti. Sudah memasuki Kelurahan Dembe. Penumpang yang duduk di sampingku akan turun. Ia pamit pada temannya yang duduk dibangku belakang.
Mobil kembali bergerak. Sedikit lagi akan tiba di terminal 10 November Kota Gorontalo. Aku sudah mengirimkan pesan singkat pada suamiku. Memberitahukan kalau aku sedikit lagi sampai. Ia akan menunggu di sana. Tempat kerjanya hanya berdekatan dengan terminal.
Memasuki kelurahan Lekobalo, mobil mulai bergerak lambat. Mobil sedikit berguncang. Jalan di kelurahan ini sedikit rusak. Banyak jalan yang berlubang. Belum lagi ruas jalannya yang sempit. Rumah penduduk yang hanya berjarak setengah meter dari jalan aspal. Sopir harus berhati-hati melalui jalan ini. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sambil memperbaiki posisi duduk, aku membuka tas jinjing. Dari dalam dompet doraemon, ku ambil uang dua lembar sepuluh ribuan. Sepuluh ribu untuk membayar sewa angkotku. Sepuluh ribu lagi rencananya untuk membayar pria paruh paya yang duduk di pintu angkot itu. Sekadar meringankan. Mau diberikan langsung aku tak enak. Nanti pria ini tersinggung. Jadi, kesempatan yang aku rasa pas adalah nanti kalau sudah tiba baru aku akan membayarnya.
Ku lihat pria paruh baya itu merogoh kantung bajunya. Agak kesusahan ia melakukannya. Ia memegang sapu lidi dan berusaha untuk tidak jatuh. Ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu. Dengan cepat dilipatnya dan disimpan dalam genggamannya. Mungkin sedikit lagi pria paruh baya itu akan turun. Aku mencari cara agar bisa mencegahnya membayar sewa angkot. Om Asri sedikit memelankan laju mobilnya karena di depan ada masjid yang sedang direnovasi. Separuh ruas jalan dipakai untuk menumpuk material pasir dan kerikil. Terlihat ada warga yang mengatur kendaraan yang lewat agar tidak macet. Mereka memegang dus mengumpulkan sumbangan dari kendaraan yang lewat. Pria kurus yang duduk di dekat pintu angkot itu menggerakkan tangannya. Meletakkan uang yang ia ambil dari kantung baju ke dalam dus sumbangan itu.
Aku hanya terdiam.
***
(Risman laiya, SMP Negeri 5 Gorontalo)
Rabu, 28 Mei 2025
Cerpen - Sepotong Roti
Rumah itu tak pernah benar-benar sepi, meski hanya dihuni dua orang: Ibu dan Damar. Suara radio tua yang memutar lagu-lagu lawas selalu menemani pagi mereka. Tapi tidak dengan suara tawa. Sudah lama suara tawa hilang dari rumah itu—terkikis bentakan, amarah, dan diam yang menyesakkan.
Damar berubah sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Ia duduk di kelas dua SMP saat itu. Sejak hari pemakaman, matanya tak pernah lagi menatap ibunya dengan hangat. Ia mulai sering membangkang, pulang larut, berkawan dengan anak-anak jalanan, dan diam-diam mulai mencoba rokok yang dulu hanya ia lihat diselipkan di bibir para sopir angkot.
Ibu tak pernah memukul. Tak pernah mengutuk. Hanya menasihati dan menunggu, seperti langit menanti hujan yang tak kunjung datang.
“Dam, jangan pulang malam. Ibu khawatir,” ucapnya suatu malam, lembut.
“Kalau Ibu khawatir, ya sudah, tidur aja! Saya bisa jaga diri!” Damar menepis tangan ibunya yang menyentuh lengannya. Sorot matanya dingin.
Malam itu ia pulang pukul dua pagi. Ibu tak tidur. Duduk di ruang tengah dengan mata merah karena menangis dan menunggu.
“Apa sih, Bu? Saya bukan anak kecil!”
“Bukan. Tapi kamu juga belum cukup besar untuk menyakiti Ibu setiap hari.”
Damar tak menjawab. Ia masuk kamar dan membanting pintu.
Hari demi hari, hubungan mereka semakin renggang. Setiap kali Ibu mencoba bicara, Damar menanggapinya dengan acuh atau kemarahan. Ibu tetap menyiapkan makan, tetap mencuci bajunya, tetap menyelipkan uang jajan—meski Damar jarang mengucap terima kasih.
Suatu pagi, saat Ibu melihat puntung rokok di bawah kasur Damar, ia memberanikan diri bicara.
“Dam, kamu mulai merokok?”
“Jangan ikut campur, Bu.”
“Ibu cuma ingin kamu sehat. Rokok itu–”
“Ah sudahlah! Ibu pikir Ibu siapa? Saya bisa urus diri saya. Jangan seolah-olah Ibu tahu semua tentang saya!”
Wajah Ibu menegang, tapi hanya mengangguk kecil.
Dan sejak itu, Ibu jarang bicara. Ia lebih banyak diam, menyimpan sedih dalam doa. Tapi sesekali, suara batuknya terdengar dari dapur, makin lama makin sering. Damar tidak peduli. Ia pikir itu hanya flu atau capek biasa.
Suatu malam, Ibu mengetuk pintu kamar Damar.
“Dam... Ibu ke dokter hari ini. Katanya—”
“Sekarang Ibu malah drama? Mau cari perhatian karena saya jarang di rumah, gitu?”
Ibu terdiam. Tidak masuk ke kamar. Hanya berdiri beberapa saat, lalu melangkah pergi pelan-pelan.
Keesokan harinya, Ibu tetap menyiapkan sarapan. Sepotong roti tawar dan teh hangat. Tapi Damar tak menyentuhnya. Ia sibuk dengan ponselnya, lalu pergi tanpa pamit. Wajah Ibu hanya mengikuti dari balik tirai jendela, lelah dan redup.
Hari itu Damar pulang malam. Sangat malam. Rumah gelap. Lampu depan tidak menyala.
“Ibu?” panggilnya.
Tak ada sahutan.
Ia menyalakan lampu ruang tengah. Dingin.
Dapur kosong.
Lalu ia masuk ke kamar Ibu. Tubuh itu terbaring diam. Mata tertutup. Tangannya menggenggam roti tawar yang tak sempat dimakan.
Dan Damar tahu, kali ini keheningan bukan bentuk kemarahan. Tapi kepergian.
Di pemakaman, ia tak menangis. Badannya terasa ringan, tapi kepalanya berat. Orang-orang berbicara pelan. Seseorang menepuk bahunya. Tapi semua terasa jauh.
Malamnya, ia masuk ke kamar Ibu. Duduk lama di tepi ranjang. Di meja kecil, ada amplop. Bertuliskan: “Untuk Damar.”
Nak, kalau kamu membaca ini, mungkin Ibu sudah tidak ada.Ibu tak pernah ingin pergi dengan membawa luka dari kamu. Tapi Ibu tahu, kamu masih belajar mengenal dunia.Ibu bukan ingin mengatur hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia dan tidak terjerumus ke jalan yang membuatmu sakit, membuatmu menyesal.Ibu tidak marah, meskipun kamu sering melukai hati Ibu.Ibu hanya takut... kamu tak sempat memaafkan dirimu sendiri.Jika kamu belum sempat berkata maaf, Ibu sudah lebih dulu memaafkan.Karena mencintaimu adalah satu hal yang tak pernah Ibu sesali.Ibu.
Tangis Damar pecah malam itu. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena setiap kenangan yang terlintas adalah luka yang ia toreh sendiri. Ia menyakiti satu-satunya orang yang tetap mencintainya, bahkan saat ia tak pantas dicintai.
Ia memeluk bantal ibu erat-erat, seakan berharap bisa menyentuh sisa hangat tubuh itu. Tapi yang tersisa hanya sunyi.
Dan roti tawar yang masih utuh di meja.
***
Karya Richman eR_eL
Cerpen - Secangkir Kopi untuk Istriku
Pagi belum sepenuhnya datang, langit masih menggantungkan warna kelabu. Darto sudah berdiri di dapur sempit rumah kontrakannya. Tangannya mengaduk kopi dalam cangkir lusuh, pelan dan hati-hati, seolah setiap putaran sendok adalah doa yang ditumpahkan.
Di meja makan yang penuh gores dan noda waktu, ia letakkan kopi itu di hadapan Mira, istrinya yang sedang duduk lelah dengan perut besar yang kian menegang jelang kelahiran. Mira menyambutnya dengan senyum pucat, menggenggam tangan Darto yang kasar dan dingin.
“Kamu belum tidur lagi, ya?” suaranya pelan.
Darto hanya menggeleng. Ia memang belum tidur. Tadi malam, selepas kerja parkir siang harinya, ia masih mengambil pekerjaan sebagai buruh bangunan demi tambahan uang untuk persalinan. Darto tak ingin Mira melahirkan di tempat seadanya. Ia ingin, walau sekali saja, memberikan yang terbaik.
“Aku bisa kok kerja lagi, To,” ujar Mira dengan suara lirih.
“Jangan. Kamu cukup jaga dia,” Darto menatap perut Mira sambil tersenyum. “Aku yang jaga kalian berdua.”
Hari-hari berlalu dalam keheningan penuh perjuangan. Darto mulai menjual barang-barang pribadinya. Jaket satu-satunya, jam tangan kenangan pernikahan, bahkan sepedanya pun dijual. Semua demi biaya rumah sakit dan keperluan bayi yang akan lahir. Darto jarang mengeluh. Ia hanya lelah, tapi baginya cinta bukan soal kata, tapi soal berkorban.
*
Suatu malam, Mira terbangun. Darto tidak ada di sampingnya. Ia berjalan ke dapur dan menemukan Darto duduk diam, menatap kosong ke arah cangkir kopi yang belum disentuh.
“To?”
Darto terdiam. Tubuhnya gemetar. Mira mendekat dan menggenggam bahunya. Saat itu Darto menangis — bukan karena lelah, bukan karena sakit — tapi karena ia baru saja diberitahu bahwa pekerjaan utamanya akan segera dihentikan. Proyek bangunan tempat ia bekerja bangkrut.
“Aku nggak tahu bisa ngelahirin kamu di rumah sakit atau nggak, Mi. Maafin aku...” katanya lirih.
Mira memeluknya erat. “Selama kamu di sisiku, aku nggak butuh rumah sakit mahal. Aku cuma butuh kamu.”
**
Hari kelahiran itu akhirnya tiba. Mira berjuang melawan nyeri dalam kontrakan kecil mereka. Seorang bidan kampung didatangkan. Dengan peluh dan air mata, bayi perempuan itu lahir ke dunia. Sehat dan kuat.
Darto menangis saat mendengar tangis bayi itu untuk pertama kali. Ia menggenggam tangan Mira erat dan berkata, “Aku kasih nama dia ‘Amara’, artinya keteguhan. Sama seperti kamu.”
Mira tersenyum tipis, lemah. “Aku bangga sama kamu, To. Tapi... kamu harus tahu sesuatu...”
Darto menatapnya bingung. Mira mengambil napas dalam-dalam. Matanya berair, bukan karena sakit melahirkan, tapi karena sesuatu yang jauh lebih berat.
“Selama ini... ada seseorang yang diam-diam bantu kita, To,” katanya. “Uang persalinan, perlengkapan bayi... semuanya. Aku simpan dalam laci. Aku nggak berani bilang karena takut kamu marah.”
Darto terdiam. “Siapa?”
Mira menangis. “Adikmu, Wira. Dia hubungi aku diam-diam. Dia jual motor kesayangannya. Dia tahu kamu terlalu keras kepala buat minta tolong.”
Darto terdiam lama. Wira, adiknya yang sempat ia usir karena berselisih paham soal warisan orangtua. Sudah dua tahun mereka tak bicara.
***
Malam itu, setelah semua reda dan Mira tertidur, Darto membuka laci yang disebut Mira. Di dalamnya ada amplop-amplop berisi uang dan satu surat.
“Mas Darto,
Aku tahu Mas nggak suka dibantu. Tapi aku bukan bantu karena kasihan. Aku bantu karena Mas sudah jadi ayah dan kakak terbaik yang pernah aku punya. Jaga Mira dan keponakanku ya. Kalau Mas mau, aku tunggu di rumah Ibu. Pulanglah. Kita keluarga. Wira”
Darto terisak. Ia menatap langit-langit, seakan berbicara pada hati yang lama ia pendam.
****
Tiga bulan kemudian, sebuah motor tua berhenti di depan rumah ibu mereka di kampung. Wira keluar dengan langkah canggung. Tapi sebelum ia sempat mengetuk pintu, pintu itu terbuka.
Darto berdiri di ambang pintu, dengan bayi kecil dalam gendongannya. Di belakangnya, Mira tersenyum hangat.
“Masih mau jadi om dari Amara?” tanya Darto dengan suara serak.
Wira tertawa dan memeluknya erat. Luka masa lalu luruh bersama air mata. Kadang, cinta dan pengorbanan tak hanya datang dari pasangan — tapi juga dari mereka yang dulu kita abaikan.
*****
Karya Richman Er_El
Minggu, 11 Mei 2025
Pengumuman Kelulusan 2025
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran dan evaluasi peserta didik pada tahun pelajaran 2024/2025 dengan lancar.
Hari ini merupakan momen penting dan bersejarah, khususnya bagi peserta didik kelas IX yang telah menuntaskan satu fase pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Pertama. Web kelulusan ini kami hadirkan sebagai sarana informasi resmi bagi seluruh siswa dan orang tua mengenai hasil kelulusan, sekaligus sebagai bentuk adaptasi kita dalam memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab.
Atas nama keluarga besar SMP Negeri 5 Gorontalo, saya mengucapkan selamat dan sukses kepada seluruh siswa yang dinyatakan lulus. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kerja keras, doa, dan dukungan semua pihak baik siswa, orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan.
Kelulusan bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi awal dari langkah baru menuju jenjang yang lebih tinggi. Teruslah belajar, jaga semangat, dan raihlah cita-cita setinggi mungkin.
Terima kasih kepada seluruh guru dan staf yang telah mendampingi peserta didik dengan penuh dedikasi. Terima kasih pula kepada orang tua yang senantiasa memberikan dukungan dalam proses pendidikan anak-anaknya.
Akhir kata, mari kita jadikan momen kelulusan ini sebagai penyemangat untuk terus maju, berkembang, dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
CEK KELULUSAN ANGKATAN 47
Minggu, 04 Mei 2025
Minggu, 20 April 2025
Jumat, 31 Januari 2025
KTI Sederhana - Nurdila Ismail
Alasan Murid SMP Negeri 5 Gorontalo Sering Datang Terlambat
- Membiasakan pola tidur teratur. Murid perlu membiasakan tidur lebih awal dan mengatur alarm sebagai pengingat bisa bangun tepat waktu
- Oranng tua dapat membantu dengan mengingatkan anak-anak mereka untuk tidur lebih awal dan menyiapkan segala keperluan sekolah sejak malam hari
- Murid yang mengalami kesulitan mendapatkan kendaraan, maka mereka bisa mencari alternatif seperti berangkat bersama teman atau menggunakan transportasi yang lebih pasti jadwalnya.
Kamis, 30 Januari 2025
KTI Karya Siswa - Moh. Baim Djafar
Pelanggaran yang Sering Terjadi Di SMP Negeri 5 Gorontalo Pada Tahun 2024-2025
(Moh. Baim S. Djafar - IX A)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Murid adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan. Baik pendidikan secara formal maupun nonformal pada jenjang pendidikan jenis pendidikan tertentu (Wikipedia). Sebagai Murid yang terdidik dan terpelajar, sudah seharusnya kita taat akan aturan yang ada di lingkungan sekolah. Akan tetapi, masih saja ada beberapa murid yang melanggar tata tertib yang telah ditetapkan. Menurut data bobo.id, pelanggaran yang sering terjadi di sekolah yakni terlambat dan bolos sekolah.
Sebagai penerus masa depan bangsa, tentu kita memperbaiki sikap atau adab karena adab di atas dari ilmu. Percuma jika memiliki ilmu tetapi tidak beradab. Bahkan, menurut data survei bahwa pada tahun 2021, index karakter murid jenjang menengah sebesar 69,52%. Jika ingin melihatnya secara langsung, kita bisa melihatnya melalui sosial media sungguh sangat banyak berita mengenai kasus pelajar. Mulai dari bullying hingga kasus kriminal lainnya. Ini sungguh sangat memprihatinkan.
Nah, mari kita melihat dan meneliti pelanggaran apa saja yang sering terjadi di lingkungan SMP Negeri 5 Gorontalo. Alasan saya memilih topik ini agar bisa melihat dengan kaca yang lebih besar terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi dan bisa saja membantu guru BK atas data-data yang telah saya kumpulkan.
1.2 Tujuan
a. Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia
b. Menganalisis pelanggaran yang sering terjadi di lingkungan sekolah
c. Membantu guru BK
1.3 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoriitis : Membuat murid merasa salah akan tindakan yang diperbuat
b. Manfaat Praktis : Memudahkan guru BK dalam penanganan masalah
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Hasil Penelitian
Hasil Penenlitian yang diperoleh yakni :
Saya melihat bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut ditangani oleh guru BK, lalu murid yang melakukan pelanggaran diberikan sanksi, dari sanksi ringan hingga sanksi berat. Murid yang melanggar mendapatkan bimbingan dari guru BK langsung. Diharapkan dengan bimbingan tersebut murid dapat sadar atas kesalahan yang mereka lakukan.
BAB III Penutup
3.1 Simpulan
Pelanggaran yang sering dilakukan oleh siswa adalah tata tertib rambut dan pelanggaran yang paling sedikit dilakukan oleh murid yakni membawa barang berbahaya.
3.2 Saran
a. Guru BK perlu memperhatikan pelanggaran yang sering terjadi dan segera melakukan penanganan agar kasus tersebut bisa menurun.
b. Butuhnya kesadaran murid terhadap dirinya sendiri
c. Adanya penertiban setiap hari saat apel pagi
d. Murid yang melakukan pelanggaran yang sama perlu dibina dan dibimbing secara terus menerus.